Lembaran Mimpi

Selasa, 14 April 2009

Hukum Islam di Indonesia

Oleh Muhammad Alifa Farhan

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Indonesia adalah negara dengan penganut agama islam terbesar di dunia, dengan 88% penduduknya adalah muslim. Akan tetapi, Indonesia bukanlah Negara Islam. Indonesia dikenal dengan muslim moderat dan toleran, oleh karena itulah hukum di Indonesia juga bukan hukum Islam, melainkan hukum yang pernah dianut oleh Indonesia saat masih dijajah oleh Belanda.

Akar Historis dan Sosiologi Islam

Jika dilihat dari sejarah hukum Indonesia, hukum Islam telah digunakan jauh sebelum negera ini berdiri. Betapa hidupnya hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari antusias masyarakat di forum-forum yang membahas hukum islam, majalah-majalah islam di rubrik tanya jawab tentang hukum islam, bahkan melihat tingginya antusias masyarakat Indonesia tentang hukum islam banyak ulama yang menerbitkan buku-buku yang khusus membahas hukum Islam.

Islam sebagai agama yang sempurna tentunya mencakup hukum-hukum yang nantinya mengatur kehidupan manusia, semua hukum ini akan kembali ke sumber utama islam yaitu Al-Qur'an dan Al-hadist. Manusia, dalam kehidupan sehari-harinya baik individu, kelompok, ataupun masyarakat luas membutuh suatu aturan yang mengendalikan keberlangsungan kehidupan manusia tersebut, disinilah hukum Islam berlaku, akan tetapi sumber utama hukum islam Al-Qur'an dan Al-hadist, hanyalah membahas hukum-hukum secara luas dan mencakup masyarakat secara umum, oleh karena itulah dibutuhkan ulama-ulama yang ber-ijtihad untuk merumuskan hukum-hukum yang belum dijelaskan secara rinci di Al-Qur'an dan Al-hadist.

Jika dilihat dari kerajaan-kerajaan islam yang pernah berdiri di Indonesia, dapat dilihat bahwa hukum islam tidak hanya didukung oleh ulama-ulama saja melainkan para petinggi kerjaan seperti raja atau sultan. Bahkan banyak sultan-sultan ini belajar islam langsung di tanah kelahirannya, Arab Saudi. Selain itu hukum islam juga ditegakan oleh para penghulu yang diangkat sendiri oleh masyarakat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda.

Dengan dijalankannya hukum islam di suatu daerah, mulai muncul benturan-benturan antara hukum adat dengan hukum islam di banyak daerah. Akan tetapi proses penyesuaian hukum berjalan damai karena kebanyakan masyarakat memahami bahwa hukum islam yang berasal dari langit lebih tinggi daripada hukum adat yang lahir dari proses budidaya mereka. Akan tetapi keharmonisan hukum ini mulai terusik dengan adanya ilmuan hukum belanda yang mulai tertarik pada hukum yang ada di Indonesia.

Hasil pengkajian para ilmuan ini sedikit banyak mempengaruhi bangsa belanda, karena mereka harus mengetahui hukum yang ada di daerah jajahannya. Bangsa Belanda lebih tertarik pada hukum adat karena sesuai politik devide et impera yang bertujuan untuk memecahbelahkan masyarakat Indonesia. Mereka tidak menyukai hukum Islam karena mereka menyadari bahwasanya hukum Islam adalah hukum ayng mengatur secara keseluruhan dan bertolak belakang dengan hukum adat yang membuat masyarakat terkotak-kotak. Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.

Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai "teori iblis" itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini.

Jika kita lihat sejarahnya, Indonesia adalah negara "penerus" hindia belanda, bukan penerus kerajaan sriwijaya ataupun majapahit. Oleh karena itu pula, semua badan hukum dan badan pemerintahan menganut system hindia belanda. Hal ini didukung dengan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa "segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini". Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.

Hukum yang dianut Hindia Belanda memiliki banyak kelemahan dan sudah seharusnya Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, membangun sendiri hukumnya walaupun kita tahu, perkembangan hukum di Indonesia termasuk lambat, baru saat orde baru dan masa reformasi saja, Indonesia memiliki perkembangan hukum yang signifikan.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia setelah ada Undang-undang no 10 tahun 2004 menjadi hirarki tertinggi dalam sistem hukum di Indonesia. Sehingga semua hukum dibawahnya tidak bisa lagi melenceng dari UUD.

Hukum Islam di Indonesia

Perlu kita ketahui bersama, bahwa hukum islam atau syariat islam tidaklah hanya mencakup hal-hal yang selama ini menjadi bahan perdebatan seperti hukuman qishas, hukum rajam pada penzina dan hukum potong tangan pada pencuri. Yang terkadang kita lupa bahwasanya Hukum islam tidak hanya mengatur masalah seperti itu, tapi juga masalah sholat 5 waktu, puasa, zakat, shadaqah, memakan/meminum hidangan yang halal, menghormati orang lain dan berbagai hal lain yang terkadadang kita lupa bahwa itu masuk dalam konteks hukum islam.

Orang-orang yang hanya mengatakan bahwa hukum islam kejam, tidak berkeprimanusiaan, dan tidak etis hanyalah orang-orang yang ingin mendiskreditkan Islam dan hanya ingin menghancurkan islam.

Banyak yang terkadang menyatakan bahwa hukum rajam pada perzinahan adalah kejam lupa bahwa akibat-akibat lain yang diakibatkan dari perzinahan tersebut. Mereka lupa, nasib anak-anak haram yang mereka hasilkan, kerusakan tatanan masyarakat, aborsi, kematian anak-anak hasil aborsi, dan tindak keriminal anak-anak terlantar hasil perzinahan.

Jika kita lihat hukum secara keseluruhan dapat kita ketahui bahwasanya hukum Islam adalah hukum yang hidup, berkembang, dan berjalan dalam kehidupan masyarakat. Jika kita lihat hukum islam dari segi peribadatan, tentu tidak harus menjadikan hukum islam menjadi hukum positif (hukum utama). Aturan sholat, puasa ataupun shodakoh tidaklah harus dinyatakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bahwa hukum Islam membahas masalah sholat lima waktu dan sholat itu fardhu a'in adalah urusan Islam, dan bukan urusan negara. Hukum Islam dalam peribadatan tetaplah berjalan tanpa harus ada campur tangan pemerintah.

Pemerintah hanya ikut serta dalam hal-hal yang mendukung kegiatan peribadatan tersebut, seperti pemberian waktu sholat jumat pada buruh, pengaturan Haji dan Umrah yang tentunya membutuhkan kegiatan administrasi yang bisa diatur oleh pemerintah.

Untuk hukum perkawinan dan hukum waris, Indonesia menyadari pluraritas yang ada di Indonesia dan sejalan dengan Bhineka tunggal Ika, sehingga Indonesia memberikan kebebasan pada masing-masing kepercayaan untuk mengikuti hukumnya masing-masing. Hukum perkawaninan dan hukum waris merupakan hukum sensitif bagi beberapa agama dan hukum adat, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, bagi seorang muslim bisa dianggap sah perkawinannya jika sesuai dengan hukum islam.

Setahun yang lalu, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam ke dalam hukum positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.

Hal yang agak sensitif lainnya adalah penerapan hukum Islam dalam hukum pidana. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta'zir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta'zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.

Banyak problema yang harus dipecahkan terlebih dahulu untuk bisa menjadi hukum islam menjadi hukum positif di Indonesia dalam hal pidana. Mulai dari perumusan deliknya, sampai pemberian sanksi.

Perumusan delik suatu tindak pidana tidaklah mudah, ambilah pembunuhan. Pembunuhan bukanlah hal sederhana, seperti apakah jenis, dengan apa, apa bentuknya, dan berbagai hal lain yang berkaitan dengan pembunuhan.

Pemberian sanksi penjara juga bukan hal yang ada di Hukum Islam, walaupun pernah diterapkan di jaman Nabi Yusuf a.s. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syar'iat yang tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di dalam praktik. Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam artikel ini.

Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik pidana adat — seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain — yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.

Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan kumpul kebo — bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara.

Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa untuk hukum-hukum keluarga dan warisan tetap menggunakan hukum dari masing-masing kepercayaan, seorang muslim menggunakan hukum Islam dan begitu pun pada seseorang yang menganut agama lain akan menggunakan hukumnya sendiri. Untuk hukum-hukum perdata, seperi asurasi dan perbankan, negara bisa mentransformasikan hukum Islam menjadi hukum positif yang berlaku. Sedangkan untuk hukum-hukum pidana, Syariat Islam hanyalah memberikan kaidah-kaidah, unsur-unsur pokok atau sumber hukum pada hukum nasional.

Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum positif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.

Demikian uraian singkat mengenai Hukum Islam di Indonesia, semoga bermanfaat dan jika memang ada kesalahan semoga Allah memperingati dengan memberi hidayah kepada hambanya. Hanya Allah lah yang mengetahui segala yang benar dan segala yang salah.

Wallahu'alam bissawwab.

*) Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas essai fiqh dengan mengambil dan mengutip dari berbagai sumber

2 komentar:

  1. cool,,
    kren uy,
    ane blon bkin ney..

    emm lip.. ada perbaikan dkit, heee,
    ntu yg UUD 1942 Pasal 1 Aturan Peralihan yg dikutip sm nte, itu pasal aturan peralihan UUD NRI 1945 sblum adanya prubahan/amandemen.. coba deh diliat lg yg ssudah amandemen.. agak beda dkit, isinya sm cuma jdi 2 pasal.. hihi*

    BalasHapus
  2. hahaa.. dasar!
    kgak ngarti ana, sumber ana mengatakan seperti itu, ya udah ana ketik az..

    kpn mo ngerjain? ust. opa minta mulu tuh!

    BalasHapus